Minggu, 30 Oktober 2011

Tinjauan Kritis Ekonomi Syariah Dalam Menghadapi Era Globalisasi [Part 1]

Bismillah..
Sebenarnya rangkaian artikel ini merupakan Tugas Akhir mata kuliah Ekonomi Islam yang saya ambil waktu semester 3 dulu, ternyata filenya masih ada, daripada disimpan saja, lebih baik saya bagikan saja ya supaya lebih bermanfaat untuk yang lain.

Artikel ini terbagi menjadi 6 bab:
BAB I INVESTASI MODAL SYARIAH
BAB II PANDANGAN ETIS TERHADAP SEBAGIAN KODE ETIK PERDAGANGAN DI MASA KINI
BAB III USAHA PERBANKAN
BAB IV ANALISIS ILMIAH TERHADAP BANK SYARIAH
BAB V APLIKASI MUDHARABAH DALAM PERBANKAN SYARIAH
BAB VI PENUTUP
Ok, langsung saja kita mulai..

BAB I INVESTASI MODAL SYARIAH
A.   Syirkah (Persekutuan Usaha) dan Hukum-Hukumnya
Hukum-Hukum Tentang Syarikat
Syirkah dalam bahasa Arab artinya percampuran atau interaksi. Bisa juga berarti membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan yang ada.
Syirkah dalam terminologi ahli fiqih berarti aliansi dalam kepemilikan atau dalam beraktivitas. Syirkah juga dapat diartikan sebagai perseroan atau persekutuan, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk bekerja sama dalam suatu usaha, yang keuntungannya untuk mereka bersama. Syirkah disyariatkan menurut ijma’ para ulama kaum muslimin.
Syirkah ada dua macam : Syirkah kepemilikan dan Syirkah ‘inan. Sementara syirkah transaksional terbagi menjadi : Syirkah ‘inan, syirkah abdan (usaha), syirkah wujuh (prestigal), syirkah mufawadhah (komprehensif) dan syirkah mudharabah (usaha investatif).

-  Syirkah ’Inan (Syirkah Harta)
Syirkah ‘inan adalah aliansi dalam modal, usaha dan keuntungan. Syirkah ini secara seperti ini secara konsensus dibolehkan. Meskipun terdapat perbedaan pendapat pada beberapa bentuk aplikasinya.

Rukun-rukun syirkah ini ada tiga :
  1. Dua pihak transaktor yang memiliki kompetensi beraktivitas. Boleh dilakukan bersama non muslim, asal dia tidak dibiarkan mengoperasikan modal sendirian, karena khawatir akan memasuki berbagai bentuk usaha yang diharamkan.
  2. Objek transaksi, yakni modal, usaha dan keuntungan. Modal syaratnya harus diketahui dan harus ada ketika dilakukan transaksi pembelian, tidak boleh berupa hutang di tangan orang yang kesulitan membayarnya. Sementara berkaitan dengan usaha, masing-masing dari transaktor bebas beroperasi sesuai dengan kebiasaan di kalangan para pedagang. Masing-masing juga bisa menyerahkan tugasnya kepada pihak lain. Adapun tentang keuntungan, syaratnya harus yang umum. Kalau ada bagian yang diperuntukan secara khusus bagi salah satu pihak tanpa melalui proses pemutaran dana, perjanjian tersebut rusak.
  3. Pelafalan perjanjian. Yakni yang disebut ijab qabul. Pelafalan ini dapat dilakukan dengan segala cara yang dapat mengindikasikan ke arah terlaksananya perjanjian, baik berupa ucapan maupun tindakan.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan bahwa keuntungan itu harus berdasarkan jumlah modal. Bisa saja dibeda-bedakan. Karena keuntungan itu bisa didapat berdasarkan modal, bisa juga berdasarkan usaha. Sementara usaha yang dilakukan masing-masing pihak berbeda-beda.
Asal dari syirkah ini adalah dibolehkan. Syirkah itu berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Namun syirkah itu secara otomatis berlangsung dengan berjalannya usaha, menurut pendapat ulama yang paling kuat. Hal itu terus berlangsung sampai hingga modal habis diputar dan kembali menjadi uang kontan seperti sebelumnya. Syirkah juga berakhir dengan meninggalkan salah seorang transaktor, karena dia gila dan tercekal karena bangkrut terlilit hutang.
Namun syirkah tidak menjadi batal dengan habisnya salah satu dari dua modal yang ada setelah keduanya dicampurkan. Namun kalau harta itu hangus sebelum dicampurkan, berarti syirkah batal.
Di antara bentuk aplikasi bentuk usaha syirkah dalam berbagai bentuk pengembangan modal kolektif adalah syirkah permanen, syirkah berdasarkan proyek tertentu dan syirkah non permanen yang pada akhirnya menjadi hak milik penuh pengelola.

-  Syirkah Abdan (Syirkah Usaha)
Yakni aliansi dua pihak atau lebih dalam segala usaha yang dilakukan oleh tangan mereka, seperti kerjasama yang dilakukan oleh para ahli keterampilan usaha dan sejenisnya. Mayoritas ulama membolehkan syirkah semacam itu. Namun Imam Syafi’i melarangnya dengan alasan bahwa syirkah itu dilakukan tanpa modal harta sehingga tidak akan mencapai tujuannya, yakni keuntungan. Karena syirkah dalam keuntungan itu dibangun di atas syirkah dalam modal. Sementara modal di sini tidak ada, maka syirkah ini tidak sah. Namun alasan Syafi’i di sini dibantah dengan alasan lain, bahwa tujuan dari syirkah adalah memperoleh keuntungan dengan syirkah tersebut. Tidak hanya didasari dengan modal harta, tetapi juga dibolehkan dengan modal kerja saja, seperti dalam sistem penanaman saham. Bisa juga dilakukan dengan sistem penjaminan, yakni masing-masing menjadi penjamin bagi yang lain untuk menerima usaha pasangan bisnisnya seperti menerima usahanya sendiri.
Para ulama berbeda pendapat tentang disyaratkannya kesamaan usaha dalam syirkah ini. Kalangan Malikiyah dan Hambaliyah dalam salah satu riwayat dari mereka memberlakukan syarat itu. Namun kalangan Hanafiyah dan juga kalangan Hambaliyah dalam riwayat lain menentang pendapat itu.
Keuntungan dalam syirkah semacam ini berdasarkan kesepakatan orang-orang yang beraliansi di dalamnya, disamakan atau dibeda-bedakan. Dasar aliansi para transaktor dalam keuntungan pada syirkah ini adalah jaminan masing-masing kepada yang lain. Maka seluruh orang yang terlibat kerjasama dalam syirkah ini berada dalam satu hak. Setiap usaha yang dilakukan oleh salah seorang di antara mereka adalah di bawah jaminan pihak lain.
Syirkah ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian, atau karena dia meninggal dunia, gila atau tercekal karena bangkrut terlilit hutang. 

-  Syirkatul Wujuh (Syirkah Prestigal)
Yakni aliansi yang dilakukan dua pihak atau lebih untuk membeli barang dagangan dengan modal nama, baik mereka secara berhutang, lalu bila ada keuntungan dibagi secara bersama.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang hukum syirkah ini. Kalangan Hanafiyah membolehkannya demikian juga kalangan Hambaliyah. Namun kalangan Syafi'iyah dan Malikiyah melarang sebagian bentuknya.

-  Syirkatul Mufawadhah
Yakni syirkah di mana seluruh yang terlibat dalam syirkah ini memiliki kesamaan modal, aktivitas dan bahkan hutang piutang dari awal syirkah hingga akhir. Ini merupakan bentuk kerja sama komprehensif di mana seluruh pihak bersepakat untuk bersekutu dalam segala sesuatu. Bahkan masing-masing menyerahkan kepada pihak lain untuk melakukan segala bentuk aktivitas yang wajib dilakukan pihak lain.
Para ulama ahli fiqih berbeda pendapat tentang disyariatkannya syirkah ini. Mayoritas ulama membolehkannya, namun kembali Imam Syafi'i melarangnya.
Alasan yang diambil oleh Imam Syafi'i untuk melarangnya adalah bahwa karena syirkah mi mengandung unsur penjaminan terhadap yang tidak diketahui dan juga jaminan terhadap sesuatu yang tidak diketahui. Keduanya adalah perjanjian rusak, bila ditinjau secara terpisah, bagaimana lagi bila keduanya dilakukan secara bersamaan?
Alasan beliau itu dibantah dengan pernyataan bahwa ketidaktahuan tersebut karena terjadi sebagai konsekuensi logis. Satu tindakan terkadang dianggap tidak sah kalau dijadikan tujuan, tetapi diangap sah bila hanya sebagai konsekuensi.
Sementara kalangan Hambaliyah menetapkan syarat dibolehkannya syirkah ini bila tidak dimasukkan ke dalamnya usaha sampingan dan denda-denda. Kalau keduanya dimasukkan berarti kerja sama batal, karena mengandung unsur penipuan.
Adapun kalangan Hanafiyah memberikan persyaratan adanya kesamaan dalam modal, usaha dan keuntungan serta hutang piutang. Pada umumnya syirkah ini dilakukan dalam berbagai bentuk perniagaan, harus diimplementasikan melalui pelafalan sebagai syirkah mufawadhah. Kalau syarat-syarat atau sebagai syarat-syarat syirkah mufawadhah ini tidak terpenuhi, maka menurut para ulama, syirkah ini berubah menjadi syirkah 'inan.
Para ulama ahli fiqih telah bersepakat bahwa tanggungan kerugian selalu identik dengan jumlah modal dalam segala bentuk syirkah. Namun dalam soal keuntungan, mereka berbeda pendapat apakah harus disesuaikan dengan jumlah modal atau berdasarkan kesepakatan, harus disamakan atau dibeda-bedakan.

-  Syirkatul Mudharabah
            Penjelasan tentang syirkatul mudharabah akan Penulis sampaikan pada sub bab selanjutnya.

B.   Sistem Mudharabah (Investasi) dan Hukum-Hukumnya
Mudharabah adalah menyerahkan atau penyerahan modal kepada orang yang terbiasa berdagang dengan memberikan sebagian keuntungan kepada pedagang itu. Kerja sama ini dibolehkan berdasarkan ijma’ ulama kaum muslimin.
Rukun-rukun kerja sama ini ada tiga: Dua pihak transaktor, objek transaksi, dan pelafalan perjanjian.
Dua transaktor seperti biasa disyaratkan harus memiliki kompetensi beraktivitas. Boleh saja bekerja sama dengan non muslim, dengan syarat harus terus dimonitor pengelolaan dananya agar tetap terjaga kehalalannya.
Sementara objek transaksi disyaratkan harus berupa alat tukar -emas, perak dan uang-. Dibolehkan menanamkan modal dengan hutang yang berada di tangan orang yang mampu membayarnya dan tentu saja mengakui bahwa dirinya memang berhutang, menurut pendapat yang benar dari kalangan ulama. Dibolehkan juga menanamkan modal dengan menggunakan uang titipan, kecuali kalau uang titipan tersebut sudah dibelanjakan, sehingga hukumnya menjadi modal berupa hutang. Investor juga bisa menambahkan dana segar pada modal yang ada, namun harus ditinjau sebagai modal terpisah dengan keuntungan dan kerugian tersendiri. Boleh juga menarik sebagian modal, yang berarti transaksi terhadap modal yang sudah ditarik menjadi batal. Namun hak investor terhadap modal yang tersisa tetap ada. Ketika terjadi kerugian, kerugian itu dibagi-bagikan pada modal yang sudah tertarik dan yang tersisa.
Sementara dalam usaha investasi ini disyaratkan hendaknya modal diputar dalam dunia niaga dan bidang-bidang terkait. Kalangan Hambaliyah membolehkan penyerahan modal itu kepada para industriawan dalam bentuk alat-alat produksi dengan mengambil keuntungan dari sebagian hasilnya, diqiyaskan atau dianalogikan dengan muzara'ah (usaha investatif pertanian) dan musaqat (usaha penyiraman perkebunan). Pengelola modal tidak dibolehkan mengembangkan modal dengan menjual barang-barang haram, para ulama bersepakat dalam hal ini. Boleh juga melakukan usaha investatif dengan kriteria tertentu, selama kriteria tersebut berguna dan dikembalikan kepada kebiasaan yang ada. Memberi batasan waktu pada usaha ini juga dibolehkan menurut pendapat ulama yang benar, sebagaimana pendapat kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah. Pengelola juga bisa menyewa orang untuk melaksanakan berbagai tugas pengelolaan yang memang tidak harus dikerjakannya sendiri menurut kebiasaan. Bahkan pengelola bisa melakukan usaha investasi lain dengan pengelola lain menggunakan modal yang sama, kalau ia diizinkan oleh pemilik modal atau diberikan hak penuh untuk mengelola modalnya sesuka hati. Pengelola juga bisa menggunakan modal tersebut untuk mengajak kerja sama pengelola lain. Namun pengelola tidak dibolehkan untuk berhutang dalam melakukan usaha, kecuali bila diizinkan oleh investor, karena tindakan itu menambah tanggung jawab pada diri investor tanpa keridhaannya. Kalau itu dilakukan, berarti jual beli itu menjadi jual beli pengelola sendiri, dan ia menjadi mitra investor, selama itu tidak mengganggu aktivitas pengelolaan modalnya bersama investor.
Keuntungan usaha investatif ini harus diketahui secara jelas, harus berupa prosentase yang umum. Kalau salah seorang ditentukan mendapatkan bagian tetap (yang tidak diputar), maka perjanjian itu batal.
Sehubungan dengan keuntungan dalam usaha investatif ini, pembagiannya harus memenuhi beberapa kode etik berikut:
  1. Keuntungan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, sementara kerugian hanya ditanggung oleh investor saja.
  2. Keuntungan dalam usaha investatif juga sebagai cadangan modal. Pengelola tidak mendapatkan keuntungan sebelum ia menerima kembali modal secara utuh. Pengelola hanya bisa mengambil keuntungan melalui pembagian.
  3. Hak kepemilikan keuntungan hanya menjadi permanen bagi  masing-masing pihak setelah dilakukan perhitungan akhir, baik secara aplikatif maupun kalkulatif.

Boleh dilakukan pembagian keuntungan awal, namun nantinya dihitung pada perhitungan akhir.
Pengelola boleh mengambil bagian dari uang modal sebagai biaya perjalanannya melakukan bisnis, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang.
Tidak ada pertanggungjawaban bagi pengelola dalam perjanjian selain karena keteledoran atau pelanggaran. Tidak perlu memperhatikan adanya berbagai trik kamuflase untuk membatalkan dasar hukum ini.
Perjanjian usaha investatif ini berakhir dengan meninggalnya salah satu transaktor atau karena dia gila, atau tercekal karena bangkrut terlilit hutang. Bisa juga karena pembatalan salah satu pihak, hanya saja usaha itu tetap berlangsung bila telah dimulai, ini menurut pendapat yang benar dari para ulama, hingga habisnya modal diputar, demi menghindari bahaya akibat pemutusan hubungan usaha yang tiba-tiba.
Dibolehkan mengambil keuntungan usaha ini dalam lingkungan perbankan dengan cara memberikan modal kepada pihak lain untuk diputar atau dengan cara lain. Demikian juga dalam lingkungan pengembangan modal kolektif lain secara umum.


BERSAMBUNG..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar