Minggu, 30 Oktober 2011

Tinjauan Kritis Ekonomi Syariah Dalam Menghadapi Era Globalisasi [Part 2]

Bismillah..

Sebenarnya rangkaian artikel ini merupakan Tugas Akhir mata kuliah Ekonomi Islam yang saya ambil waktu semester 3 dulu, ternyata filenya masih ada, daripada disimpan saja, lebih baik saya bagikan saja ya supaya lebih bermanfaat untuk yang lain.

Artikel ini terbagi menjadi 6 bab:
BAB I INVESTASI MODAL SYARIAH
BAB II PANDANGAN ETIS TERHADAP SEBAGIAN KODE ETIK PERDAGANGAN DI MASA KINI
BAB III USAHA PERBANKAN
BAB IV ANALISIS ILMIAH TERHADAP BANK SYARIAH
BAB V APLIKASI MUDHARABAH DALAM PERBANKAN SYARIAH
BAB VI PENUTUP
Ok, mari kita lanjutkan..

BAB II PANDANGAN ETIS TERHADAP SEBAGIAN KODE ETIK PERDAGANGAN DI MASA KINI


A.   Larangan Memperdagangkan Barang Haram
Diharamkan memperdagangkan barang-barang haram. Karena apabila Allah telah mengharamkan sesuatu, Allah juga mengharamkan memperdagangkan sesuatu tersebut. Contoh kongkritnya adalah memperdagangkan bangkai, darah, daging babi, memperdagangkan pakaian berhias ’emas dan perak’.
Para ulama bersepakat mengharamkan emas murni bagi kaum lelaki, karena ada nash-nash shahih terhadap keharamannya.
Namun mereka berbeda pendapat tentang hukum pakaian yang berhias emas dan perak. Dalam hal ini ada banyak pendapat di kalangan mereka. Yang paling menonjol adalah pendapat yang membolehkan perhiasan emas yang menjadi hiasan sampingan saja (pendapat kalangan Hanafiyah), kalau jumlahnya tak lebih dari empat jari, sementara perak dibolehkan tanpa batasan.
Adapun bejana yang disepuh dengan emas dan perak, para ulama juga terbagi dalam dua pendapat. Namun yang paling menonjol adalah pendapat yang membolehkannya, kalau tidak murni. Karena sepuhan itu hanya hiasan tambahan yang akan terkonsumsi habis. Warna yang tersisa tidaklah menjadi masalah (menurut pendapat kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan juga pendapat dzahir dari kalangan Syafi’iyah).
Para ulama juga berbeda pendapat tentang hiasan emas pada pakaian bayi atau anak kecil. Ada dua pendapat, dan yang paling menonjol adalah pendapat yang melarangnya dan tanggung jawabnya terpikul oleh wali anak kecil tersebut (menurut pendapat kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah, dan inilah yang kuat atau unggul).

B.   Riba
Riba adalah kelebihan keuntungan yang diperoleh salah satu pihak yang tidak disertai imbalan atau kompensasi.
Diharamkannya riba sudah jelas disebutkan dalam Kitabullah, Sunnah Rasul dan Ijma' ulama kaum muslimin. Bahkan keharamannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam. Sesuai dengan firman Allah Ta’ala: ”Padahal Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqoroh: 275).
Riba sendiri ada dua macam: Riba pinjaman, yang keharamannya dijelaskan melalui turunnya ayat al-Qur'an. Yang kedua adalah riba jual beli yang dijelaskan dalam sunnah-sunnah Nabi yang suci.
Riba pinjaman adalah riba dalam harta milik baik dalam wujud jual beli atau peminjaman. Yakni penambahan jumlah hutang karena bertambahnya waktu pembayaran.

Bentuk-Bentuk Riba Jahiliyah Ada Tiga:
  1. "Tangguhkan saja pembayaran hutangku kepada Anda, akan saya tambahkan jumlahnya." Yakni beri saya tambahan waktu untuk membayarnya, nanti saya akan menambah jumlah hutang yang akan saya bayarkan kepada Anda.
  2. Pinjaman berjangka dengan bunga-bunga yang ditentukan untuk dibayar sekaligus ketika jatuh tempo pembayaran.
  3. Pinjaman berjangka dengan tambahan atau bunga yang harus dibayar perbulan.

Sementara riba jual beli sendiri terbagi menjadi dua: Riba Fadhal dan Riba Nasi'ah.
Riba fadhal adalah tambahan atau kelebihan pada salah satu barang yang dibarter dalam penjualan komoditi riba fadhal. Kalau emas dijual atau dibarter dengan emas misalnya, harus ada kesamaan dan harus diserahterimakan secara langsung.
Hikmah diharamkannya riba fadhal adalah untuk menutup jalan menuju riba nasi'ah. Karena seringkali fadhal menggiring kepada riba nasi'ah. Karena orang yang terbiasa menjual sesuatu dengan yang sejenis secara kontan dengan keuntungan, akan  tertarik juga menjual sesuatu itu dengan pembayaran tertunda disertai bunga.            
Sementara riba nasi'ah adalah penangguhan penyerahan salah satu barang yang dibarter dalam jual beli komoditi fadhal. Kalau emas dijual dengan perak, harus diserahterimakan secara langsung tetapi tidak harus sama ukuran atau beratnya  tetapi boleh saja berbeda.
Riba tetap diharamkan meskipun di negeri kafir harbi, sebagaimana haramnya riba di negeri Islam, tak beda sedikit. Tidak perlu memandang pendapat mereka yang membolehkannya, karena alasan dan dalil-dalil mereka amat lemah dan saling bertentangan.
Membeli rumah dengan pendanaan dari bank yang mengandung unsur peminjaman uang berbunga, hukumnya tidak boleh. Tidak bisa beralasan dengan pendapat madzhab Abu Hanifah dalam kasus ini, karena pendapat Abu Hanifah berkaitan dengan dibolehkannya mengambil riba fadhal dari orang kafir harbi, bukan untuk membayar hutang kepada orang kafir dengan bunga. Hal itu masih ditambah lagi dengan tidak adanya komitmen mereka yang berpendapat demikian untuk menetapkan negeri-negeri kafir sekarang ini sebagai negeri kafir harbi.
Yang dijadikan patokan dalam pembayaran hutang secara formal adalah dengan mata uang yang sama, bukan dengan nilainya. Tidak boleh mematok hutang yang harus dibayar dengan standar nilainya.
Namun kalau inflasi mata uang terjadi secara drastis sehingga sampai kepada tingkat membahayakan bagi pihak yang memberi hutang, maka harus dikembalikan kepada nilainya. Kalau terjadi konflik, harus dikembalikan pula kepada pengadilan.
Diharamkan bagi orang kaya yang berhutang untuk menunda-nunda pembayaran hutangnya. Meski demikian, secara syariat juga tidak dibenarkan menetapkan komitmen pada saat perjanjian piutang untuk memberikan kompensasi saat terjadi keterlambatan pembayaran. Namun pihak orang kaya yang menolak atau menunda-nunda pembayaran hutang itu bisa diberikan sanksi hukuman lain, atau diberi sanksi hukuman finansial untuk disumbangkan bagi kepentingan umum, tidak untuk kepentingan pihak yang memberi hutang.

C.   Jual Beli ‘Gharar’, Menjual Sesuatu yang Tidak Jelas
Para ahli fiqih menjelaskan definisi gharar itu seputar ketidakpastian terhadap akibat atau keragu-raguan antara baik tidaknya barang transaksi.
Dilarangnya jual beli gharar (jual beli 'kucing dalam karung’) merupakan salah satu pondasi besar syariat Islam.

Macam-macam atau Tingkat-tingkat Gharar Ada Tiga:
  1. Yang bernilai berat, hukumnya dilarang secara mufakat di kalangan ulama, seperti menjual ikan dalam air dan burung yang masih terbang di udara.
  2. Yang tingkat gharar-nya rendah, hukumnya dimaafkan secara mufakat pula di kalangan ulama, seperti menjual pondasi rumah (dalam penjualan rumah), isi bagian dalam pakaian dari sejenisnya.
  3. Yang tingkatnya menengah, masih diperdebatkan. Parameter sedikit atau banyak dikembalikan kepada kebiasaan.

Gharar Ditinjau dari Kandungannya Terbagi Menjadi Tiga:
  1. Yang tidak ada, yakni yang tidak diyakini akan bisa didapatkan, seperti jual beli dengan sistem kontrak tahunan, atau jual beli buah-buahan yang belum layak dikonsumsi.
  2. Yang tidak mungkin diserahterimakan, seperti menjual unta yang sedang kabur.
  3. Menjual barang yang tidak diketahui.

Dilarang menjual makanan sebelum diterima dan tidak boleh menjual selain makanan sebelum diterima menurut pendapat ulama yang paling benar.
Dibolehkan menjual sesuatu yang tidak tampak asal dijelaskan kriterianya. Namun tidak boleh jika tanpa dijelaskan  kriterianya, menurut salah satu dari dua pendapat yang paling benar di kalangan ulama. Dan itu adalah pendapat kalangan Malikiyah dan Ibnu Hazm serta pendapat yang populer dari kalangan Hambaliyah.

D.   Diharamkannya Penipuan, Manipulasi, dan Kamuflase Berat
Perbuatan-perbuatan di atas adalah beberapa faktor yang memperkeruh kejernihan dan kesucian pengembangan modal yang bergerak di bawah naungan syariat dan dijalankan oleh tangan-tangan bersih. Penipuan, manipulasi, dan usaha menutup-nutupi cacat pada barang dagangan (kamuflase) dan menampilkannya tidak sebagaimana yang sesungguhnya, yakni dengan cara yang dapat memperdaya pembeli dan bahkan dapat mengaburkan berbagai hal yang sudah jelas keharamannya menurut syariat.
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rosululloh Shollallahu ’Alaihi Wa Sallam pernah melewati seonggok makanan. Beliau memasukkan tangannya ke dalam onggokan makanan itu dan mendapatkan bagian yang basah. Beliau bertanya, ”Wahai pendidik makanan, apa-apaan ini?” Orang itu menjawab, ”Itu bagian yang kena siraman hujan wahai Rosululloh Shollallahu ’Alaihi Wa Sallam.” Beliau berkata dengan nada tanya, ”Kenapa engkau tidak meletakkannya saja di bagian atas sehingga bisa dilihat orang? Barangsiapa yang menipu, maka ia bukan termasuk golongan kami.”
Dari hadits di atas, sudah jelas bahwa penipuan, manipulasi, dan kamuflase adalah hal-hal yang terlarang.
Di antara bentuk manipulasi adalah menyembunyikan harga yang sedang beredar pada waktu perjanjian. Karena Rosululloh Shollallahu ’Alaihi Wa Sallam melarang membeli barang dagangan yang sedang dibawa kafilah menuju pasar dan orang kota menjualkan barang milik orang dusun. Beliau juga melarang jual beli najsy. Mencegat kafilah di sini maksudnya adalah mendatangi kafilah dan membeli barang jualan mereka serta meyembunyikan harga yang sedang berlaku di kota tujuan.[1]
Yang dimaksud jual beli najsy adalah jual beli meninggikan harga barang yang dilakukan oleh orang yang tidak mau membelinya dengan tujuan untuk menipu orang lain. Larangan terhadap jual beli ini, seperti diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa ia menceritakan Rosululloh Shollallahu ’Alaihi Wa Sallam pernah bersabda, ”Janganlah seorang di antara kalian membeli sesuatu yang masih dalam penawaran orang lain, janganlah kalian melakukan jual beli najsy, dan janganlah orang kota menjualkan barang milik orang dusun.” (Bukhari Muslim)
Kamuflase berat adalah kamuflase yang di luar batas kewajaran. Karena asal kamuflase dalam jual beli adalah dibolehkan. Karena tujuan utama dari perniagaan adalah mencari keuntungan, dan itu hanya bisa dilakukan dengan unsur kamuflatif ringan. Sementara kamuflase berat hanya terjadi melelui semacam manipulasi barang atau dengan menyembunyikan harga pasaran, kalau kamuflase itu dilakukan dengan manipulasi, jelas harus segera ditinggalkan, namun yang tidak dilakukan dengan manipulasi, juga dianjurkan untuk ditinggalkan.
Diharamkannya Menimbun Barang
Yang dimaksud menimbun barang adalah penyimpanan barang dagangan yang membahayakan masyarakat, baik itu berupa makanan pokok atau yang lainnya menurut pendapat yang paling benar di kalangan ulama.
Tanda penimbunan barang yang diharamkan adalah sebagai berikut:
1.      Memperoleh barang dengan cara membelinya di pasar-pasar lokal.
2.      Menyulitkan masyarakat untuk membelinya (karena harga tinggi).

E.   Diharamkannya Setiap Jual Beli yang Membantu Kemaksiatan
Syariat Islam melarang segala bentuk jual beli yang menolong kemaksiatan kepada Allah.  Kalau terbukti bisa mengantarkan kepada maksiat, maka jelas haram hukumnya. Namun kalau tidak sampai diyakini, hukumnya adalah syubhat.


[1] Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalm kitab al-Buyu’, nomor 1519:17. Diriwayatkan oleh Abu Daud 3429. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 1221.



BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar