Minggu, 30 Oktober 2011

Tinjauan Kritis Ekonomi Syariah Dalam Menghadapi Era Globalisasi [Part 4]

Bismillah..

Sebenarnya rangkaian artikel ini merupakan Tugas Akhir mata kuliah Ekonomi Islam yang saya ambil waktu semester 3 dulu, ternyata filenya masih ada, daripada disimpan saja, lebih baik saya bagikan saja ya supaya lebih bermanfaat untuk yang lain.

Artikel ini terbagi menjadi 6 bab:
BAB I INVESTASI MODAL SYARIAH
BAB II PANDANGAN ETIS TERHADAP SEBAGIAN KODE ETIK PERDAGANGAN DI MASA KINI
BAB III USAHA PERBANKAN
BAB IV ANALISIS ILMIAH TERHADAP BANK SYARIAH
BAB V APLIKASI MUDHARABAH DALAM PERBANKAN SYARIAH
BAB VI PENUTUP
Ok, mari kita lanjutkan..

BAB IV ANALISIS ILMIAH TERHADAP BANK SYARIAH


A. Mengenal Beberapa Kaidah Penting Seputar Transaksi Riba
Pertama, ”Setiap Keuntungan Dari Piutang Adalah Riba”
Ditinjau dari tujuannya, berbagai transaksi yang dilakukan oleh manusia dapat kita bagi menjadi tiga bagian:
  1. Transaksi yang bertujuan untuk mencari keuntungan misalnya jual beli, sewa menyewa, mudharabah, dan lain-lain.
  2. Transaksi yang bertujuan memberikan bantuan uluran tangan dan meringankan kesusahan orang lain. Contoh: hutang piutang, peminjaman barang, penitipan barang, hibah, dan lain-lain.
  3. Transaksi yang bertujuan memberikan jaminan kepada pihak lain bahwa haknya tidak akan hilang. Contoh: pegadaian, jaminan, dan lain-lain.
Riba adalah bentuk kedzaliman kepada orang-orang yang kesusahan. Oleh karena itu syariat Islam mengharamkan setiap keuntungan yang dikeruk dari piutang, dan menyebutnya sebagai riba. Para ulama menegaskan hal ini dalam sebuah kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fiqih, yaitu: ”Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan maka itu adalah riba”.

Kedua, ”Perbedaan Antara Piutang Dan Tabungan (wadi’ah)”
Piutang (Al-Qardhu) adalah suatu akad berupa memberikan harta kepada orang lain yang akan menggunakannya dan kemudian ia berkewajiban mengembalikan gantinya. Adapun akad tabungan atau wadi’ah adalah menyerahkan harta kepada orang yang menjaganya/menyimpannya.
Wadi’ah yang diterapkan dalam perbankan lebih sesuai dengan hukum dain/piutang karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Dengan demikian sebenarnya wadi’ah atau tabungan yang ada di perbankan adalah piutang sehingga yang berlaku padanya adalah hukum hutang piutang, dan bukan hukum wadi’ah/titipan. Dengan memahami dua macam akad ini jelaslah bagi kita bahwa tabungan atau yang dikenal dalam bahasa Arab dengan al-wadi’ah atau al-idaa’ pada hakikatnya bukanlah tabungan, akan tetapi sebenarnya adalah piutang yang diterima oleh pihak bank dari nasabahnya. Oleh karena itu pihak operator bank berhak sepenuhnya untuk menggunakan dan memanfaatkan seluruh uang yang ia terima dari nasabah yang telah ditabungkan di bank yang telah ia kelola. Dan nasabah tidak sepenuhnya berhak tahu tentang apa yang terjadi pada uang yang telah ia serahkan, ia hanya berhak menerima kembali uangnya beserta tambahan atau bunga yang telah ditentukan.

Ketiga, ”Perubahan Nama Tidak Dapat Mengubah Hakikat Dan Hukum Sesuatu”
      ”Sungguh akan ada sekelompok orang dari umatku yang minum khamr, dan mereka menamakannya dengan selain namanya, sambil ditabuh alat-alat musik di atas kepala mereka, lalu Allah akan menenggelamkan (sebagian) mereka ke dalam bumi, dan sebagian lagi dikutuk menjadi kera dan babi”. (HR. Abu Dawud, dan hadits ini memiliki banyak syawahid)
      Ibnu Hajr Al-Asqalani berkata, ”Pada hadits ini terdapat ancaman keras atas orang-orang yang merekayasa berbagai cara untuk menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dengan cara mengubah penamaannya. Dan pada hadits ini pula dapat disimpulkan bahwa setiap hukum senantiasa mengikuti illahnya (alasannya), dan illah diharamkannya khamr adalah karena memabukkan, maka acapkali suatu minuman menyebabkan seseorang mabuk, maka minuman itu pasti haram walau namanya telah berubah, bukan lagi khamr.
      Ibnu Al-Arabi berkata, ”Hadits ini adalah dasar bagi kaidah: Setiap hukum hanyalah berkaitan dengan makna suatu istilah, tidak dengan sekedar namanya saja”. (Fathu Al-Baari, oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, 10/56)
      Kaitan pembahasan masalah ini dengan permasalahan riba adalah nama untuk piutang (dain/qardh) yang dalam dunia perbankan telah diubah menjadi wadi’ah (tabungan). Berdasarkan kaidah di atas maka perubahan nama semacam ini tidak dapat mengubah sedikitpun status piutang (dain/qardh) dari proses penyerahan uang nasabah kepada bank. Sehingga tidak mengherankan bila para ulama memasukkan tabungan di perbankan dalam cakupan kaidah fiqih di atas, ”Setiap yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan maka itu adalah riba”.
      Penamaan akad ini dengan nama wadi’ah tidak lain hanyalah bentuk tipu muslihat dan kebohongan terhadap publik yang semakin menjadikan dosa pelakunya berlipat ganda. Dosa memakan riba, berdusta, dan menghalalkan sesuatu yang Allah haramkan. Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dengan sedikit tipu muslihat”. (HR. Ibnu Baththah dan dihasankan oleh Ibnu Katsir serta disetujui oleh Al-Albani)

Keempat, ”Persyaratan Tertulis Dan Tidak Tertulis”
Dalam menjalankan berbagai akad, kita seringkali mempersyaratkan berbagai persyaratan. Persyaratan yang biasa terjadi dalam perniagaan ada dua macam:
1.      Persyaratan yang dituangkan dengan tegas secara lisan atau tulisan dalam akad penjualan.
2.      Persyaratan yang tidak dituangkan secara tulisan atau lisan dalam akad penjualan, akan tetapi persyaratan itu telah diketahui dan diamalkan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Para ulama menuangkan hukum persyaratan jenis kedua ini dalam suatu kaidah, ”Sesuatu yang telah diketahui secara bersama bagaikan hal yang telah ditegaskan dalam persyaratan”.
Kaitan pembahasan hal ini dengan hukum riba adalah setiap faedah atau tambahan yang dipersyaratkan dari suatu piutang, baik dipersyaratkan secara tertulis sebagai persyaratan atau telah menjadi tradisi pelaku akad, maka semuanya dikategorikan sebagai riba. Misalnya, seseorang yang telah dikenal bahwa ia tidak sudi untuk menghutangkan uangnya kepada orang lain kecuali bila penghutang memberikan bunga 10%, maka kebiasaannya tersebut telah menjadi persyaratan yang mempengaruhi hukum akad hutang-piutangnya, dan status bunga yang dia ambil adalah riba.

Kelima, ”Pembagian Akad Ditinjau Dari Tujuannya”
Ditinjau dari tujuannya, akad tersebut dapat dibagi menjadi tiga macam:
1. Akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Contoh: akad jual beli, sewa menyewa, syarikat dagang, penggarapan tanah, dan lain-lain.
2. Akad yang bertujuan untuk memberikan penghargaan, pertolongan, dan jasa baik atau uluran tangan kepada orang lain. Contoh: akad hutang piutang, penitipan, peminjaman, sedekah, hadiah, pernikahan, dan lain-lain.
3. Akad yang dapat diperlakukan dengan kedua tujuan di atas. Contoh: akad syarikah, iqaalah (membatalkan suatu akad), dan akad At-Tauliyah (menjual barang dengan harga beli).

B. Tinjauan Kritis Terhadap Perbankan Syariah Di Indonesia
Tinjauan Pertama: Status Perbankan Yang Tidak Jelas
Perbankan syari’ah yang ada telah mengklaim bahwa mudharabah merupakan asas bagi berbagai transaksi yang mereka jalankan. Baik transaksi antara nasabah pemilik modal dengan perbankan, atau transaksi antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha. Sekilas, hal ini tidak menjadi masalah padahal masalah ini adalah masalah besar yang perlu ditinjau ulang. Sebab perbankan dalam hal ini memainkan status ganda yang saling bertentangan. Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan nasabah (kreditur) sebagai pemilik modal. Namun, dalam sekejap status ini berubah, dimana bank berperan sebagai pemodal, yaitu ketika pihak perbankan berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk mengembangkan usahanya.
Status ganda yang diperankan oleh perbankan ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad utang piutang, dan bukan akad mudharabah. Yang demikian itu karena bila ia berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga sebagaimana layaknya menjaga amanah yang lainnya. Dan amanah dari pemodal adalah mengelola dana tersebut dalam usaha nyata yang akan mendatangkan hasil keuntungan, sehingga tidak semestinya bank kembali menyalurkan modal yang ia terima dari nasabah (pemodal) ke pengusaha lain dengan akad mudharabah. Akan tetapi bila ia berperan sebagai pemodal, maka ini mendustakan kenyataan yang sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang dikelola adalah milik nasabah.
Imam An-Nawawi berkata, ”Hukum kedua: Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ketiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua bathil.”(Raudhah ath-Thalibin, oleh Imam An-Nawawi, 5/132), silakan baca juga At-Tahdzib, oleh Imam Al-Baghawi, 4/392), Mughni Al-Muntaj oleh Asy-Syarbini, 2/314, dan Syarikah Al-Mudharabah fii Al-Fiqhi Al-Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi As-Silmi, hal. 202)
Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali, ia berkata, ”Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan aku tidak mengetahui ada ulama lain yang menyelisihinya.” (Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah Al-Hanbali, 7/156)
Dalam akad mudharabah, bila perbankan memerankan peranan ganda seperti ini, atas seizin pemodal sedangkan ia tidak ikut serta dalam menjalankan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha kedua, maka bank tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan, karena statusnya hanyalah sebagai perantara (calo). Para ulama menjelaskan bahwa alasan hukum ini adalah karena hasil/keuntungan dalam akad mudharabah hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal, dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil.

Tinjauan Kedua: Bank Tidak Memiliki Usaha Riil
Badan-badan keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah seakan tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian Islam. Badan-badan tersebut berusaha untuk menghindari Sunatullah yang telah Allah Ta’ala tentukan dalam dunia usaha. Sunatullah tersebut berupa pasangan sejoli yang tidak mungkin dipisahkan, yaitu untung dan rugi. Operator perbankan syari’ah senantiasa menghentikan langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak beresiko.
Oleh karena itu, perbankan syariah yang ada -biasanya- tidak atau belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah. Sebagai contoh nyata dari produk perbankan yang ada ialah mudharabah. Operator perbankan tidak berperan sebagai pelaku usaha, akan tetapi sebagai penyalur dana nasabah. Hal ini mereka lakukan karena takut dari berbagai resiko usaha dan hanya ingin mendapatkan keuntungan. Bila demikian ini keadaannya, maka keuntungan yang diperoleh atau dipersyaratkan oleh perbankan kepada nasabah pelaksana usaha adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh beberapa ulama diantaranya sebagaimana yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi diatas.

Tinjauan Ketiga: Bank Tidak Siap Menanggung Kerugian
Andaikata kita menutup mata dari kedua hal diatas, maka masih ada masalah besar yang menghadang langkah perbankan syariah di negeri kita. Hal tersebut ialah ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menanggung resiko mudharabah yang mereka jalin dengan para pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi hutang-piutang yang berbunga alias riba.
Para ulama dari berbagai madzhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syariah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang bathil. Dan dalam ilmu fiqih, bila pada suatu akad terdapat persyaratan yang bathil, maka solusinya adalah salah satu dari dua hal berikut:
1. Akad beserta persyaratan tersebut tidak sah, sehingga masing-masing pihak terkait harus mengembalikan seluruh hak-hak lawan akadnya.
2. Akad dapat diteruskan, akan tetapi dengan meninggalkan persyaratan tersebut.
Sebagai contoh misalnya Bank Syariah Solo mengucurkan modal kepada Pak Ahmad sebesar Rp 100.000.000,- dengan perjanjian bagi hasil 60% banding 40%. Setelah usaha berjalan dan telah jatuh tempo, Pak Ahmad mengalami kecurian, atau gudangnya terbakar, atau yang serupa, sehingga modal yang ia terima dari bank hanya tersisa Rp 20.000.000,-. Dalam keadaan semacam ini, Bank Syariah Solo akan tetap meminta agar Pak Ahmad mengembalikan modalnya utuh, yaitu Rp 100.000.000,-. Mungkin operator Bank Syariah akan berdalih bahwa dalam dunia usaha uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian. Dengan demikian perbankan telah ikut serta menanggung kerugian yang terjadi.
Maka kita katakan, alasan serupa juga dapat diutarakan oleh pelaksana usaha: Dalam dunia usaha, seseorang bekerja tanpa mendapatkan hasil sedikitpun adalah kerugian. Andai ia bekerja pada suatu perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan gaji yang telah disepakati, walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah dengan perbankan syariah, pelaku usaha merugi dua kali:
Pertama, ia telah bekerja banting tulang, peras keringat, dan pada akhirnya tidak mendapatkan hasil sedikitpun.
Kedua, ia masih juga harus menutup kekurangan yang terjadi pada modal yang pernah ia terima dari bank.
Contoh lain dari produk syariah ialah bai’ Al-Murabahah. Bentuknya kurang lebih demikian, bila ada seseorang yang ingin memiliki motor, ia dapat mengajukan permohonan ke salah satu perbankan syariah agar bank tersebut membelikannya. Selanjutnya pihak bank akan mengkaji kelayakan calon nasabahnya ini. Bila permintaannya diterima, maka bank akan segera mengadakan barang yang dimaksud dan segera menyerahkannya kepada pemesan, dengan ketentuan yang sebelumnya telah disepakati.
Sekilas akad ini tidak bermasalah, akan tetapi bila kita cermati lebih seksama, maka akan nampak dengan jelas bahwa pihak bank berusaha untuk menutup segala resiko. Oleh karenanya, sebelum bank mengadakan barang yang dimaksud, bank telah membuat kesepakatan jual beli dengan segala ketentuannya dengan nasabah. Dengan demikian, bank telah menjual barang yang belum ia miliki, dan itu adalah terlarang.
”Dari sahabat Ibnu ’Abbas r.a ia menuturkan: Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ’Abbas berkata, ”Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ’alaih)
Pemahaman Ibnu ’Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit r.a, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut:
”Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata, ”Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu karena Rasulullah SAW melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing””. (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim)
Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, diantaranya ialah karena barang yang belum diterimakan kepada pembeli bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar atau rusak terkena air dan lain-lain sehingga ketika ia telah menjualnya kembali ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Hikmah kedua, seperti yang telah dinyatakan oleh Ibnu ’Abbas r.a ketika muridnya yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
”Saya bertanya kepada Ibnu ’Abbas, bagaimana kok demikian?” Ia menjawab, ”Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda”. (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu ’Abbas di atas sebagaimana berikut, ”Bilamana seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar misalnya, dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja”.

Tinjauan Keempat: Nasabah Bank Tidak Siap Menanggung Kerugian
Bila kita berdiri di pintu masuk salah satu bank syariah yang ada di negeri kita, lalu kita bertanya pada setiap nasabah yang menabungkan atau menginvestasikan dananya: Apakah sikap bapak/ibu bila pada suatu saat pihak operator menyatakan bahwa usaha yang dikelola bank merugi, sehingga dana bapak/ibu berkurang atau bahkan hangus? Penulis yakin, mayoritas atau bahkan seluruh nasabah dengan berbagai macamnya akan menjawab pertanyaan di atas dengan tegas, ”Tidak, dana saya harus aman, minimal, bila tidak ada bagi hasil maka harus kembali utuh”.
Jawaban mereka ini merupakan bukti bahwa sebenarnya mereka adalah pemberi piutang kepada bank, bukan pemodal. Dengan demikian, setiap keuntungan yang mereka peroleh dari bank dan yang sebelumnya telah disepakati (baik tertulis atau tidak) adalah riba, bukan bagi hasil, karena tercakup oleh kaidah:
”Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba”.

Tinjauan Kelima: Semua Nasabah Mendapatkan Bagi Hasil
Perbankan syariah mencampur-adukkan seluruh dana yang masuk kepadanya sehingga tidak dapat diketahui nasabah yang dananya telah disalurkan dan dana nasabah yang masih beku di bank. Walau demikian, pada setiap akhir bulan seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan. Mungkin menurut perbankan syariah yang ada, hal ini tidak menjadi masalah. Sebab yang menjadi pertimbangan utama bank dalam membagikan keuntungannya adalah total modal nasabah, bukan keuntungan yang diperoleh dari dana masing-masing nasabah.
Akan tetapi hal ini menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar Islami. Sebab yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana nasabah. Sehingga nasabah yang dananya belum disalurkan, tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil. Sebab keuntungan yang diperoleh adalah hasil dari pengelolaan modal nasabah selain mereka. Pembagian hasil kepada nasabah yang dananya belum tersalurkan jelas-jelas merugikan nasabah yang dananya telah disalurkan.
Inilah fakta perbankan syariah yang ada di negeri kita. Oleh karena itu tidak mengherankan bila perbankan syariah dihantui oleh over likuiditas. Yaitu suatu keadaan dimana bank kebanjiran dana dari masyarakat/nasabah sehingga tidak mampu menyalurkan seluruh dana yang terkumpul dari nasabahnya. Keadaan ini memaksa perbankan syariah untuk menyimpan dana yang tidak tersalurkan tersebut di Bank Indonesia (BI) dalam bentuk Sertifikat Wadiah. Sebagai contoh: Pada periode Januari 2004 dilaporkan perbankan syariah berhasil mengumpulkan dana dari nasabah sebesar 6, 62 triliun rupiah. Akan tetapi dana yang berhasil mereka gulirkan hanya 5, 86 triliun rupiah. (Majalah MODAL, edisi 19/II-Mei 2004, hal.25)
Keadaan ini menjadi masalah besar dikarenakan perbankan syariah yang ada telah menjanjikan (baik tertulis atau tidak) untuk memberikan ”keuntungan” kepada setiap nasabahnya. Bank dalam hal ini tidak membedakan antara nasabah yang dananya berhasil disalurkan, dari nasabah yang dananya belum berhasil disalurkan. Fenomena perbankan syariah ini membuktikan bahwa sebenarnya hubungan antara bank dengan pelaku usaha atau konsumen produk perbankan adalah hubungan antara pemilik uang dengan penghutang. Dalam hal ini bank bukanlah pemodal, akan tetapi pemberi piutang (daa’in) dan nasabah bukanlah pelaku usaha, akan tetapi penghutang (madien). Dengan demikian seluruh keuntungan yang diperoleh bank dari nasabahnya adalah riba dan bukan keuntungan (bagi hasil).

Tinjauan Keenam: Metode Bagi Hasil Yang Berbelit-belit
Bila kita datang ke salah satu kantor perbankan syariah, niscaya kita akan dapatkan suatu brosur yang menjelaskan tentang metode pembagian hasil. Untuk dapat memahami metode pembagian hasil tersebut bukanlah suatu hal yang mudah, terlebih-lebih bagi yang taraf pendidikannya rendah. Berikut adalah metode bagi hasil yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariah di Indonesia:
Bagi hasil nasabah = Dana/ saldo nasabah x E x Rasio/ nisbah nasabah
                                                1000                                     100
E= Pendapatan rata-rata investasi dari setiap seribu rupiah dari dana nasabah.

Dapat dilihat dengan jelas bahwa salah satu pengali dalam penghitungan hasil pada skema di atas adalah total modal (dana) nasabah. Adapun dalam akad mudharabah maka yang dihitung adalah keuntungan atau hasilnya, oleh karenanya akad ini dinamakan bagi hasil.
Muhammad Nawawi Al-Bantaani berkata, ”Rukun mudharabah kelima adalah keuntungan. Rukun ini memiliki beberapa persyaratan, diantaranya keuntungan hanya milik pemodal dan pelaku usaha. Hendaknya mereka berdua sama-sama memilikinya dan hendaknya bagian masing-masing dari mereka ditentukan dalam persentase”. (Nihayatu Az-Zain, oleh Muhammad Nawawi Al-Jawi, 254)
Inilah yang menjadikan metode penghitungan hasil dalam mudharabah yang benar-benar syar’i sangat simpel dan mudah dipahami. Berikut skema pembagian hasil dalam akad mudharabah:
Bagi hasil nasabah= Keuntungan bersih x Nisbah nasabah x Nisbah modal nasabah dari total uang yang dikelola oleh bank

Perbedaan antara dua metode di atas dapat dipahami dengan jelas melalui contoh berikut:
Pak Ahmad menginvestasikan modal sebesar Rp 100.000.000,- dengan perjanjian 50% untuk pemodal dan 50% untuk pelaku usaha (bank) dan total uang yang dikelola oleh bank sejumlah 10.000.000.000,- (10 milyar). Dengan demikian modal Pak Ahmad adalah 1% dari keseluruhan dana yang dikelola oleh bank. Pada akhir bulan bank berhasil membukukan laba bersih sebesar 1.000.000.000 (1 milyar). Operator bank –setelah perhitungan yang berbelit-belit pula- menentukan bahwa pendapatan investasi dari setiap Rp 1.000,- adalah Rp 11, 61.
Bila kita menggunakan metode perbankan syariah, maka hasilnya adalah sebagai berikut:

100.000.000 x 11,61 x 50 = Rp 580.500,-
       1000                     100

Dengan metode ini Pak Ahmad hanya mendapatkan bagi hasil sebesar Rp 580.500,- saja.
Sedangkan bila kita menggunakan metode mudharabah yang sebenarnya, maka hasilnya sebagai berikut:
1.000.000 x 50 x 1 = 5.000.000
     100             100
Dengan metode penghitungan hasil mudharabah yang sebenarnya, Pak Ahmad berhak mendapatkan bagi hasil sebesar Rp 5.000.000,-. Metode pembagian yang diterapkan oleh bank berbelit-belit dan merugikan nasabah.
Yang lebih rumit lagi adalah metode bank dalam menentukan pendapatan rata-rata investasi dari setiap seribu rupiah. Berikut salah satu contoh dari metode yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariah di Indonesia:
E = (Total dana nasabah – Giro wajib minimum) x Total pendapatan x 1000
                              Total Investasi                           Total dana nasabah

Metode perhitungan bagi hasil yang berbelit-belit ini membuktikan bahwa perbankan syariah yang ada tidak menerapkan metode mudharabah yang sebenarnya. Dari sedikit pemaparan di atas, kita dapat simpulkan bahwa perbankan syariah yang ada hanyalah sekedar nama besar tanpa ada hakikatnya. Bahkan yang terjadi sebenarnya hanyalah upaya mempermainkan istilah-istilah syariah. Mungkin inilah yang mendorong sebagian umat Islam berani mempermainkan berbagai istilah syariah.
Majalah MODAL mengisahkan bahwa sebagian pemain golf yang biasanya berjudi ketika bermain golf telah menamakan kebiasaan judinya dengan golf syariah. Cara yang mereka lakukan ialah dengan mengumpulkan uang judinya dengan sebutan tabarru’. Bila dana yang terkumpul telah habis, kembali mereka kumpulkan lagi dengan sebutan shadaqah. Dan bila telah habis, mereka mengumpulkan uang lagi dengan sebutan infaq, dan demikianlah seterusnya. Pada akhir permainan mereka mengecek siapa dari mereka yang paling banyak kalah (paling apes). Bila ada dari mereka yang kehabisan uang atau menderita kekalahan yang banyak, maka pemenang diwajibkan mengeluarkan zakat 2,5% kepada yang bersangkutan. Pelaku para pemain golf tersebut adalah haram, bahkan dosanya lebih besar daripada para pegolf judi lainnya. Karena selain menanggung dosa judi, mereka juga menanggung dosa mempermainkan istilah-istilah syariat yang tidak pada tempatnya. (Majalah MODAL, edisi 36, tahun 2006, hal.26-27)
Perbuatan mereka itu tak ubahnya seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi tatkala diharamkan atas mereka untuk memakan lemak. Mengakali pengharaman itu, mencairkan lemak tersebut, lalu menjualnya dan kemudian hasil penjualan itulah yang mereka makan. Menanggapi perilaku keji kaum Yahudi ini Rasulullah SAW bersabda:
”Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya tatkala Allah mengharamkan atas mereka untuk memakan lemak binatang, merekapun mencairkannya kemudian menjualnya dan akhirnya mereka memakan hasil penjualan itu”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Solusi Perbankan
Berikut beberapa solusi yang dapat diterapkan oleh perbankan yang benar-benar ingin menerapkan sistem perbankan yang Islami:
1. Pemilahan Nasabah Berdasarkan Tujuan Masing-masing
Secara global, kita dapat mengelompokkan nasabah yang menyimpan dananya di bank menjadi dua kelompok besar.
Kelompok pertama, nasabah yang semata-mata bertujuan untuk mengamankan hartanya.
Kelompok kedua, nasabah yang bertujuan mencari keuntungan dengan menginvestasikan dananya melalui jalur perbankan yang ada.
Masing-masing kelompok nasabah ini memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda sebagaimana yang telah dijabarkan di atas. Berdasarkan pemilahan ini pula pihak operator perbankan dapat menentukan hak dan kewajibannya terhadap masing-masing kelompok. Dana yang berhasil dikumpulkan oleh bank dari nasabah jenis pertama dapat dimanfaatkan dalam membiayai berbagai usaha yang menguntungkan dan sepenuhnya keuntungan yang diperoleh menjadi milik bank. Dari hasil investasi dengan dana nasabah jenis pertama ini, bank dapat membiayai operasionalnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa bank akan mendapat keuntungan yang surplus bila dibanding dana operasionalnya.
Diantara keuntungan pemilahan ini perbankan akan terhindar dari overlikuidasi karena bank tidak akan pernah menerima dana investasi melainkan setelah membuka peluang usaha yang benar-benar halal dan dibenarkan. Sebagaimana pihak perbankan tidak berkewajiban untuk memberikan keuntungan kepada nasabah kecuali bila dananya benar-benar telah disalurkan dan menghasilkan keuntungan. Dengan cara ini pula prinsip mudharabah benar-benar akan dapat diterapkan sehingga penghitungan hasil akan dapat ditempuh dengan metode yang simpel dan transparan, yaitu dengan mengalikan jumlah keuntungan yang berhasil dibukukan dengan nisbah masing-masing nasabah.

2. Perbankan Terjun Langsung Ke Sektor Riil
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa untuk menjalankan operasional, suatu bank pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu agar bank terkait dapat memenuhi kebutuhannya ini ia harus memiliki berbagai unit usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Tidak sepantasnya perbankan hanya mencukupkan diri dengan menjadi pihak penyalur dana semata tanpa terjun langsung dalam usaha nyata. Dengan demikian keuntungan yang didapatkan oleh bank benar-benar keuntungan yang halal dan bukan hasil menghutangkan dana kepada pihak ketiga. Selama perbankan tidak terjun langsung dalam dunia usaha nyata dan hanya mencukupkan dirinya sebagai penyalur dana nasabah, maka riba tidak akan pernah dapat dihindarkan.
Dengan cara ini keberadaan perbankan syariah akan benar-benar menghidupkan perekonomian umat Islam. Karena dengan cara ini perbankan pasti membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Sebagaimana perbankan Islami akan menjadi produsen sekaligus konsumen bagi produk-produk yang beredar di masyarakat.
Sebagai konsekuensi dari hal ini tentu kedua belah pihak yaitu nasabah yang menginvestasikan dananya ke proyek-proyek perbankan dan juga pihak operator bank siap untuk menanggung segala resiko dunia usaha. Pemodal menanggung kerugian dalam bentuk materi dan pelaku usaha menanggung kerugian skill.

3. Perbankan Menerapkan Mudharabah Sepihak
Pada saat sekarang ini amanah dan kepercayaan susah untuk didapatkan, bahkan yang sering terjadi di masyarakat kita adalah sebaliknya, pengkhianatan dan kedustaan. Oleh karena itu sangat sulit bagi kita, terlebih-lebih bagi suatu badan usaha untuk menerapkan sistem mudharabah dengan sepenuhnya. Untuk menyiasati keadaan yang memilukan ini Penulis mengusulkan agar perbankan syariah yang ada menerapkan mudharabah sepihak.
Yang Penulis maksud dengan mudharabah sepihak adalah perbankan menerima modal dari masyarakat untuk menjalankan berbagai unit usaha yang ia kelola, akan tetapi perbankan tidak menyalurkan modalnya ke masyarakat dengan skema mudharabah. Dengan cara ini dana nasabah yang disalurkan ke perbankan syariah dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas dan perbankan terhindar dari berbagai kejahatan berbagai pihak yang tidak memiliki amanah dan rasa takut kepada Allah Ta’ala.

 Note: Pada bab ini Penulis mengutip dari buku Ustadz Arifin Badri yang berjudul "Riba dan Tinjauan Kritis Perbankan Syariah" dengan beberapa editan. Bagi yang ingin copas dan ingin tau sumber lengkapnya silakan lihat daftar pustaka pada artikel Part 5. Jangan lupa baca juga artikel sebelum-sebelumnya ya..

BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar